Pradita Wanda Zahra. Diberdayakan oleh Blogger.

Senin, 24 Mei 2010

Perekonomian Terbuka

Perdagangan Internasional
Pengertian : kegiatan untuk menyalurkan barang dan jasa kepada masyarakat.

Faktor pendorong perdagangan internasional :
1.untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa dalam negeri
2.keinginan untuk memperoleh keuntungan dan meningkatkan penerimaan Negara
3.adanya perbedaan kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mengolah sumber daya ekonomi
4.adanya kelebihan kapasitas di dalam negeri sehingga perlu perluasan pasar untuk menjual produk tersebut
5.adanya perbedaan SDA, iklim, tenaga kerja, tingkat harga barang, budaya dan jumlah penduduk yang menyebabkan adanya perbedaan hasil produksi dan adanya keterbatasan produksi
6.adanya kesamaan selera terhadap suatu barang
7.keinginan untuk menjalin kerjasama, hubungan politik, dan dukungan dari Negara lain
8.terjadinya era globalisasi sehingga tidak satu negarapun di dunia dapat memenuhi kebutuhan hidup sendiri


Manfaat perdagangan internasional :
SEKTOR RIIL
1.Mendapatkan barang yang tidak dapat diproduksi dalam negeri
Suatu Negara dapat memperoleh barang yang diinginkan dengan cara mengimpor dari Negara lain bila Negara tersebut tidak dapat memproduksinya
2.Tingkat kepuasan yang lebih tinggi
Kadangkala suatu Negara tidak puas dengan barang buatannya sendiri sehingga Negara tersebut memilih untuk mengimpor dari Negara lain demi mendapat kualitas yang lebih baik
3.Tukar menukar barang dan jasa dari dan ke berbagai Negara
Diantara dua Negara atau lebih dapat saling bertukar hasil produksi dalam memenuhi kebutuhan negaranya. Dengan begitu, Negara tidak akan kesulitan mencari barang-barang yang tidak dapat diproduksinya sendiri
4.Pergerakan SDA melewati batas-batas wilayah Negara
Karena adanya keterbatasan SDA suatu Negara, maka Negara lain dapat mengekspor suatu komoditi ke Negara tersebut. Biasanya berupa barang-barang dari alam yang sering terpengaruh oleh faktor iklim.
5.Peningkatan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan pasar
Suatu Negara memproduksi suatu barang yang laku di pasaran. Dengan tujuan untuk menguasai pangsa pasar. Apalagi bila Negara tersebut berkonsentrasi pada satu jenis barang maka, hasil produksinya akan lebih berkualitas. Selain tersebut, barang yang akan diprosuksi disesuaikan dengan kondisi dan minat konsumen pada umumnya
6.Efisiensi
Pada era sekarang teknologi semakin maju, sehingga banyak diciptakan alat-alat atau mesin canggih di dunia industri. Maka banyak perusahaan mengganti alat produksinya dari manusia ke mesin. Dengan hal ini, maka perusahaan melakuakan efisiensi biaya dan waktu.


SEKTOR MONETER
1.Sebagai sumber pendapatan devisa
Dengan adanya keuntungan dan pajak dari perdagangan internasional, maka devisa Negara akan bertambah.
2.Memperluas pasar industri dalam negeri
Pasar tempat tukar menukar barang, tempat bertemunya penjual dan pembeli yang keduanya saling melakukan transaksi jual beli barang apa saja yang dibutuhkan oleh masing-masing orang (baik importir maupun eksportir). Tujuan transaksi jual beli tersebut antara lain :
-mendapat barang dan jasa yang dibutuhkan
-mendapat laba/keuntungan yang diharapkan
-memperluas pasar
3.Pertukaran dan perluasan penggunaan teknologi
Majunya bidang teknologi saat ini memberi dampak positif bagi perdagangan internasional. Dengan pertukaran teknologi yang canggih maka Negara-negara dapat meningkatkan hasil produksinya
4.Menstabilkan harga
Bila dalam suatu waktu mengalami kelebihan hasil produksi, sehingga harga barang tersebut turun, cara untuk menstabilkan harga yaitu dengan mengimpor. Sehingga pemasaran dalam negeri tidak berlebih dan harga stabil.

TEORI PERDAGANGAN INTERNASIONAL
Pada tahun 1776 Adam Smith dalam bukunya yang berjudul “IN INGUIRY INTO THE NATURE AND CAUSES OF THE WEALTH OF NATION”,dengan adanya perdagangan internasional suatu Negara hanya akan memproduksi satu atau beberapa barang saja dengan biaya produksi yang rendah untuk diekspor dan Negara tersebut akan mengimpor barang-barang lain dengan harga yang lebih murah daripada memproduksi sendiri. Dengan cara ini Negara-negara yang mengadakan hubungan internasional dapat memperoleh keuntungan.


Macam-macam keuntungan tersebut dituangkan ke dalam teori di bawah ini :
Teori Absolut ( keuntungan mutlak )
Menurut teori ini perdagangan antar dua Negara terhadap dua jenis barang akan terhadi. Jika masing-masing Negara mempunyai kekuatan dalam memproduksi barang tertentu. Keuntungan akan diperoleh dua Negara tersebut, jika dua Negara tersebut mengekspor barang yang mempunyai keunggulan mutlak dan mengimpor barang yang mempunyai kerugian mutlak ( absolute disadvantage)
Teori Komparatif
Perdagangan internasional masih mungkin terjadi dan menguntungkan kedua Negara meskipun satu Negara mempunyai keunggulan mutlak dan memproduksi kedua barang dengan syarat jika satu Negara mempunyai keunggulan komparatif dibandingkan dengan Negara lain.

TEORI-TEORI LAIN :
Model Ricardian
Model Ricardian memfokuskan pada kelebihan komparatif dan mungkin merupakan konsep paling penting dalam teori pedagangan internasional. Dalam Sebuah model Ricardian, negara mengkhususkan dalam memproduksi apa yang mereka paling baik produksi. Tidak seperti model lainnya, rangka kerja model ini memprediksi dimana negara-negara akan menjadi spesialis secara penuh dibandingkan memproduksi bermacam barang komoditas. Juga, model Ricardian tidak secara langsung memasukan faktor pendukung, seperti jumlah relatif dari buruh dan modal dalam negara.
Model Heckscher-Ohlin
Model Heckscgher-Ohlin dibuat sebagai alternatif dari model Ricardian dan dasar kelebihan komparatif. Mengesampingkan kompleksitasnya yang jauh lebih rumit model ini tidak membuktikan prediksi yang lebih akurat. Bagaimanapun, dari sebuah titik pandangan teoritis model tersebut tidak memberikan solusi yang elegan dengan memakai mekanisme harga neoklasikal kedalam teori perdagangan internasional.
Teori ini berpendapat bahwa pola dari perdagangan internasional ditentukan oleh perbedaan dalam faktor pendukung. Model ini memperkirakan kalau negara-negara akan mengekspor barang yang membuat penggunaan intensif dari faktor pemenuh kebutuhan dan akan mengimpor barang yang akan menggunakan faktor lokal yang langka secara intensif. Masalah empiris dengan model H-o, dikenal sebagai Pradoks Leotief, yang dibuka dalam uji empiris oleh Wassily Leontief yang menemukan bahwa Amerika Serikat lebih cenderung untuk mengekspor barang buruh intensif dibanding memiliki kecukupan modal.
Faktor Spesifik
Dalam model ini, mobilitas buruh antara industri satu dan yang lain sangatlah mungkin ketika modal tidak bergerak antar industri pada satu masa pendek. Faktor spesifik merujuk ke pemberian yaitu dalam faktor spesifik jangka pendek dari produksi, seperti modal fisik, tidak secara mudah dipindahkan antar industri. Teori mensugestikan jika ada peningkatan dalam harga sebuah barang, pemilik dari faktor produksi spesifik ke barang tersebut akan untuk pada term sebenarnya. Sebagai tambahan, pemilik dari faktor produksi spesifik berlawanan (seperti buruh dan modal) cenderung memiliki agenda bertolak belakang ketika melobi untuk pengednalian atas imigrasi buruh. Hubungan sebaliknya, kedua pemilik keuntungan bagi pemodal dan buruh dalam kenyataan membentuk sebuah peningkatan dalam pemenuhan modal. Model ini ideal untuk industri tertentu. Model ini cocok untuk memahami distribusi pendapatan tetapi tidak untuk menentukan pola pedagangan.
Model Gravitasi
Model gravitasi perdagangan menyajikan sebuah analisa yang lebih empiris dari pola perdagangan dibanding model yang lebih teoritis diatas. Model gravitasi, pada bentuk dasarnya, menerka perdagangan berdasarkan jarak antar negara dan interaksi antar negara dalam ukuran ekonominya. Model ini meniru hukum gravitasi Newton yang juga memperhitungkan jarak dan ukuran fisik diantara dua benda. Model ini telah terbukti menjadi kuat secara empiris oleh analisa ekonometri. Faktor lain seperti tingkat pendapatan, hubungan diplomatik, dan kebijakan perdagangan juga dimasukkan dalam versi lebih besar dari model ini.

LUCKY

Do you hear me,
I'm talking to you
Across the water across the deep blue ocean
Under the open sky, oh my, baby I'm trying
Boy I hear you in my dreams
I feel your whisper across the sea
I keep you with me in my
make it easier when life gets hard

I'm lucky I'm in love with my best friend
Lucky to have been where I have been
Lucky to be coming home again
Ooohh ooooh oooh oooh ooh ooh ooh ooh

They don't know how long it
for a love like this
Every time we say goodbye
I wish we had one more kiss
I'll wait for you I promise you, I will

I'm lucky I'm in love with my best friend
Lucky to have been where I have been
Lucky to be coming home again
Lucky we're in love every way
Lucky to have stayed where we have stayed
Lucky to be coming home someday

And so I'm sailing through the sea
To an island where we'll meet
You'll hear the music fill the air
I'll put a flower in your hair
Though the breezes through trees
Move so pretty you're all I see
As the world keeps spinning round
You hold me right here right now

I'm lucky I'm in love with my best
to have been where I have been
Lucky to be coming home again
I'm lucky we're in love every way
Lucky to have stayed where we have
to be coming home someday
Ooohh ooooh oooh oooh ooh ooh ooh ooh
Ooooh ooooh oooh oooh ooh ooh ooh ooh

Kamis, 20 Mei 2010

Pasukan Inti Smaliska 08/09



makan bersama



angkatan 06/07


alumni


alumni

angkatan 07/08


with angkatan 08/09


With Bu Endang SS




Persiapan TONPARA 08/09 @ SMANSABOY


@ Ipank's hums : Buka bersama '09



Dalil, Jodi, Jafar


=,=





wah panas-panas push-up... njikuk brifet rekoso tenan...

tapi lambang senior ki...hehe


Ini pialanya anak-anak Pati 08/09. Keren kan? hehe... iya donk, itu berkat perjuangan semua temen-temen, kakak-kakak senior 07/08 dan 06/07, gak ketinggalan dukungan alumni Pati. Liat thu wajahnya pada item smua.. rambutnya kaya dora.. yang cowok plontos kaya upin-ipin.. hehe.. we're the champion Pati Smaliska =)







Sabtu, 08 Mei 2010

Sleeping Beauty


Long ago there lived a King and Queen who said every day, "If only we had a child!" But for a long time they had none.
One day, as the Queen was bathing in a spring and dreaming of a child, a frog crept out of the water and said to her, "Your wish shall be fulfilled. Before a year has passed you shall bring a daughter into the world."



And since frogs are such magical creatures, it was no surprise that before a year had passed the Queen had a baby girl. The child was so beautiful and sweet that the King could not contain himself for joy. He prepared a great feast and invited all his friends, family and neighbours . He invited the fairies, too, in order that they might be kind and good to the child. There were thirteen of them in his kingdom, but as the King only had twelve golden plates for them to eat from, one of the fairies had to be left out. None of the guests was saddened by this as the thirteenth fairy was known to be cruel and spiteful.
An amazing feast was held and when it came to an end, each of the fairies presented the child with a magic gift. One fairy gave her virtue, another beauty, a third riches and so on -- with everything in the world that anyone could wish for.
After eleven of the fairies had presented their gifts, the thirteenth suddenly appeared. She was angry and wanted to show her spite for not having been invited to the feast. Without hesitation she called out in a loud voice,
"When she is fifteen years old, the Princess shall prick herself with a spindle and shall fall down dead!"
Then without another word, she turned and left the hall.
The guests were horrified and the Queen fell to the floor sobbing, but the twelfth fairy, whose wish was still not spoken, quietly stepped forward. Her magic could not remove the curse, but she could soften it so she said,
"Nay, your daughter shall not die, but instead shall fall into a deep sleep that will last one hundred years."
Over the years, the promises of the fairies came true -- one by one. The Princess grew to be beautiful, modest, kind and clever. Everyone who saw her could not help but love her.
The King and Queen were determined to prevent the curse placed on the Princess by the spiteful fairy and sent out a command that all the spindles in the whole kingdom should be destroyed. No one in the kingdom was allowed to tell the Princess of the curse that had been placed upon her for they did not want her to worry or be sad.
On the morning of her fifteenth birthday, the Princess awoke early -- excited to be another year older. She was up so early in the morning, that she realized everyone else still slept. The Princess roamed through the halls trying to keep herself occupied until the rest of the castle awoke. She wandered about the whole place, looking at rooms and halls as she pleased and at last she came to an old tower. She climbed the narrow, winding staircase and reached a little door. A rusty key was sticking in the lock and when she turned it, the door flew open.
In a little room sat an old woman with a spindle, busily spinning her flax. The old woman was so deaf that she had never heard the King's command that all spindles should be destroyed.
"Good morning, Granny," said the Princess, "what are you doing?"
"I am spinning," said the old woman.
"What is the thing that whirls round so merrily?" asked the Princess and she took the spindle and tried to spin too.
But she had scarcely touched the spindle when it pricked her finger. At that moment she fell upon the bed which was standing near and lay still in a deep sleep.
The King, Queen and servants had all started their morning routines and right in the midst of them fell asleep too. The horses fell asleep in the stable, the dogs in the yard, the doves on the roof and the flies on the wall. Even the fire in the hearth grew still and went to sleep. The kitchen maid, who sat with a chicken before her, ready to pluck its feathers, fell asleep. The cook was in the midst of scolding the kitchen boy for a mess he'd made but they both fell fast asleep. The wind died down and on the trees in front of the castle not a leaf stirred.
Round the castle a hedge of brier roses began to grow up. Every year it grew higher until at last nothing could be seen of the sleeping castle.
There was a legend in the land about the lovely Sleeping Beauty, as the King's daughter was called, and from time to time Princes came and tried to force their way through the hedge and into the castle. But they found it impossible for the thorns, as though they were alive, grabbed at them and would not let them through.
After many years a Prince came again to the country and heard an old man tell the tale of the castle which stood behind the brier hedge and the beautiful Princess who had slept within for a hundred years. He heard also that many Princes had tried to make it through the brier hedge but none had succeeded and many had been caught in it and died.
The the young Prince said, "I am not afraid. I must go and see this Sleeping Beauty."
The good old man did all in his power to persuade him not to go, but the Prince would not listen.
Now the hundred years were just ended. When the Prince approached the brier hedge it was covered with beautiful large roses. The shrubs made way for him of their own accord and let him pass unharmed.
In the courtyard, the Prince saw the horses and dogs lying asleep. On the roof sat the sleeping doves with their heads tucked under their wings. When he went into the house, the flies were asleep on the walls and the servants asleep in the halls. Near the throne lay the King and Queen, sleeping peacefully beside each other. In the kitchen the cook, the kitchen boy and the kitchen maid all slept with their heads resting on the table.
The Prince went on farther. All was so still that he could hear his own breathing. At last he reached the tower and opened the door into the little room where the Princess was asleep. There she lay, looking so beautiful that he could not take his eyes off her. He bent down and gave her a kiss. As he touched her, Sleeping Beauty opened her eyes and smiled up at him.
Throughout the castle, everyone and everything woke up and looked at each other with astonished eyes. Within the month, the Prince and Sleeping Beauty were married and lived happily all their lives.


RA Kartini



Kartini, (April 21, 1879–September 17, 1904), was a prominent Javanese and an Indonesian national heroine. Kartini is known as a pioneer in the area of women's rights for native Indonesians.
Kartini was born into an aristocratic Javanese family in a time when Java was still part of the Dutch colony, the Dutch East Indies. Kartini's father, Raden Mas Sosroningrat, became Regency Chief of Jepara, and her mother was Raden Mas' first wife, but not the most important one. At this time, polygamy was a common practice among the nobility.
Kartini's father, RMAA Sosroningrat, was originally the district chief of Mayong. Her mother was MA Ngasirah, the daughter of Kyai Haji Madirono, a teacher of religion in Teluwakur, Jepara, and Nyai Haji Siti Aminah. At that time, colonial regulations specified that a Regency Chief must marry a member of the nobility and because MA Ngasirah was not of sufficiently high nobility[2], her father married a second time to Raden Ajeng Woerjan (Moerjam), a direct descendant of the Raja of Madura. After this second marriage, Kartini's father was elevated to Regency Chief of Jepara, replacing his second wife's own father, RAA Tjitrowikromo.
Kartini was the fifth child and eldest daughter in a family of eleven, including half siblings. She was born into a family with a strong intellectual tradition. Her grandfather, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, became a Regency Chief at the age of 25 while Kartini's older brother Sosrokartono was an accomplished linguist.
Kartini's family allowed her to attend school until she was 12 years old. Here, among other subjects, she learnt to speak fluent Dutch, an unusual accomplishment for Javanese women at the time[3]. After she turned 12 she was 'secluded' at home, a common practice among Javanese nobility, to prepare young girls for their marriage. During seclusion girls were was not allowed to leave their parents' house until they were married, at which point authority over them was transferred to their husbands. Kartini's father was more lenient than some during his daughter's seclusion, giving her such privileges as embroidery lessons and occasional appearances in public for special events.
During her seclusion, Kartini continued to educate herself on her own. Because Kartini could speak Dutch, she acquired several Dutch pen friends. One of them, a girl by the name of Rosa Abendanon, became her very close friend. Books, newspapers and European magazines fed Kartini's interest in European feminist thinking, and fostered the desire to improve the conditions of indigenous women, who at that time had a very low social status.
Kartini's omnivorous reading included the Semarang newspaper De locomotief, edited by Pieter Brooshooft, as well as leestrommel, a set of magazines circulated by bookshops to subscribers. She also read cultural and scientific magazines as well as the Dutch women's magazine De Hollandsche Lelie, to which she began to send contributions which were published. From her letters, it was clear that Kartini read everything with a great deal of attention and thoughtfulness. The books she had read before she was 20 included Max Havelaar and Love Letters by Multatuli. She also read De Stille Kracht (The Hidden Force) by Louis Couperus, the works of Frederik van Eeden, Augusta de Witt, the Romantic-Feminist author Mrs Goekoop de-Jong Van Beek and an anti-war novel by Berta von Suttner, Die Waffen Nieder! (Lay Down Your Arms!). All were in Dutch.
Kartini's concerns were not just in the area of the emancipation of women, but also the problems of her society. Kartini saw that the struggle for women to obtain their freedom, autonomy and legal equality was just part of a wider movement.
Kartini's parents arranged her marriage to Raden Adipati Joyodiningrat, the Regency Chief of Rembang, who already had three wives. She was married on the 12 November 1903. This was against Kartini's wishes, but she acquiesced to appease her ailing father. Her husband understood Kartini's aims and allowed her to establish a school for women in the east porch of the Rembang Regency Office complex. Kartini's only son was born on September 13, 1904. A few days later on September 17, 1904, Kartini died at the age of 25. She was buried in Bulu Village, Rembang.
Inspired by Kartini's example, the Van Deventer family established the Kartini Foundation which built schools for women, 'Kartini's Schools' in Semarang in 1912, followed by other women's schools in Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon and other areas.
In 1964, President Sukarno declared Kartini's birth date, 21 April, as 'Kartini Day' - an Indonesian National Holiday. This decision has been criticised. It has been proposed that Kartini's Day should be celebrated in conjunction with Indonesian Mothers Day, on 22 December so that the choice of Kartini as a national heroine would not overshadow other women who, unlike Kartini, took up arms to oppose the colonisers.
In contrast, those who recognise the significance of Kartini argue that not only was she a feminist who elevated the status of women in Indonesia, she was also a nationalist figure, with new ideas who struggled on behalf of her people, including her in the national struggle for independence.
In her letters, Kartini wrote about her views of the social conditions prevailing at that time, particularly the condition of native Indonesian women. The majority of her letters protest the tendency of Javanese Culture to impose obstacles for the development of women. She wanted women to have the freedom to learn and study. Kartini wrote of her ideas and ambitions, including Zelf-ontwikkeling, Zelf-onderricht, Zelf-vertrouwen, Zelf-werkzaamheid and Solidariteit. These ideas were all based on Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid, that is, belief in God, wisdom, and beauty, along with Humanitarianisme (humanitarianism) and Nationalisme (nationalism).
Kartini's letters also expressed her hopes for support from overseas. In her correspondence with Estell "Stella" Zeehandelaar, Kartini expressed her desire to be like a European youth. She depicted the sufferings of Javanese women fettered by tradition, unable to study, secluded, and who must be prepared to participate in polygamous marriages with men they don't know.

Hakekat Hidup Manusia menurut Kluckhon

Pengertian Kebudayaan A.L Krober dan C.Kluckhon
Kebudayaan adalah manifestasi atau penjelmaan kerja jiwa manusia dalam arti seluas-luasnya.
Unsur kebudayaan (menurut C.kluckhohn) :
1. Sistem Religi
2. Sistem organisasi kemasyarakatan
3. Sistem pengetahuan
4. Sistem mata pencaharian hidup dan system-sistem ekonomi
5. Sistem Teknologi dan Peralatan
6. Bahasa
7. Kesenian


Orientasi nilai budaya
Kebudayaan sebagai karya manusia memiliki system nilai. Menurut C.Kluckhohn dalam karyanya Variations in Value Orientation (1961) system nilai budaya dalam semua kebudayaan di dunia, secara Universal menyangkut 5 masalah pokok kehidupan manusia, yaitu:
1. Hakekat hidup manusia (MH)
Hakekat hidup untuk setiap kebudayaan berbeda secara ekstern; ada yang berusaha untuk memadamkan hidup, ada pula yang dengan pola-pola kelakuan tertentu menganggap hidup sebagai suatu hal yang baik, “mengisi hidup”.
2. Hakekat karya manusia (MK)
Setiap kebudayaan hakekatnya berbeda-beda, diantaranya ada yang beranggapan bahwa karya bertujuan untuk hidup, karya memberikan kedudukan atau kehormatan, karya merupakan gerak hidup untuk menambah karya lagi.
3. Hakekat waktu manusia (WM)
Hakekat waktu untuk setiap kebudayaan berbeda; ada yang berpandangan mementingan orientasi masa lampau, ada pula yang berpandangan untuk masa kini atau masa yang akan datang.
4. Hakekat alam manusia (MA)
Ada kebudayaan yang menganggap manusia harus mengeksploitasi alam atau memanfaatkan alam semaksimal mungkin, ada pula kebudayaan yang beranggapan manusia harus harmonis dengan alam dan manusia harus menyerah kepada alam.
5. Hakekat hubungan manusia (MN)
Dalam hal ini ada yang mementingkan hubungan manusia dengan manusia, baik secara horizontal (sesamanya) maupun secara vertikal (orientasi kepada tokoh-tokoh). Ada pula yang berpandangan individualistis ( menilai tinggi kekuatan sendiri ).


Penngaruh budaya pada perilaku

Dalam essainya yang berjudul “A Mirror for Man” dia berpendapat bahwa yang menentukan perilaku individu bukan dari faktor genetic, namun pengaruh budaya dalam pola pengasuhan. Kluckhohn berpendapat bahwa mengapa suatu individu berperilaku demikian karena “mereka dibesarkan seperti itu”. Budaya ditempat seseorang sibesarkan mencerminkan nilai-nilai mereka, sikap dan perilaku. Dalam sebuah pencarian terus-menerus untuk lebih memahami perilaku manusia, orang ditantang untuk melihat ke dalam. . Memahami akar dari psikologi manusia adalah kunci untuk memahami mengapa manusia menampilkan perilaku tertentu, sikap tertentu pelabuhan, dan bereaksi terhadap situasi dengan emosi tertentu. Kluckhohn menggunakan beberapa paradigma untuk menggambarkan pengaruh budaya terhadap perilaku dia melibatkan adat perkawinan yang berbeda dari Amerika Serikat dan orang-orang Koryak Siberia.

Masyarakat Majemuk

Masyarakat Majemuk
Dalam masyarakat majemuk manapun, mereka yang tergolong sebagai minoritas selalu didiskriminasi. Ada yang didiskriminasi secara legal dan formal, seperti yang terjadi di negara Afrika Selatan sebelum direformasi atau pada jaman penjaajhan Belanda dan penjaajhan Jepang di Indonesia. Dan, ada yang didiskriminasi secara sosial dan budaya dalam bentuk kebijakan pemerintah nasional dan pemerintah setempat seperti yang terjadi di Indonesia dewasa ini. Dalam tulisan singkat ini akan ditunjukkan bahwa perjuangan hak-hak minoritas hanya mungkin berhasil jika masyarakat majemuk Indonesia kita perjuangkan untuk dirubah menjadi masyarakat multikultural. Karena dalam masyarakat multikultural itulah, hak-hak untuk berbeda diakui dan dihargai. Tulisan ini akan dimulai dengan penjelasan mengenai apa itu masyarakat Indonesia majemuk, yang seringkali salah diidentifikasi oleh para ahli dan orang awam sebagai masyarakat multikultural. Uraian berikutnya adalah mengenai dengan penjelasan mengenai apa itu golongan minoritas dalam kaitan atau pertentangannya dengan golongan dominan, dan disusul dengan penjelasan mengenai multikulturalisme. Tulisan akan diakhiri dengan saran mengenai bagaimana memperjuangkan hak-hak minoritas di Indonesia.
Masyarakat Majemuk Indonesia
Masyarakat majemuk terbentuk dari dipersatukannya masyarakat-masyarakat suku bangsa oleh sistem nasional, yang biasanya dilakukan secara paksa (by force) menjadi sebuah bangsa dalam wadah negara. Sebelum Perang Dunia kedua, masyarakat-masyarakat negara jajahan adalah contoh dari masyarakat majemuk. Sedangkan setelah Perang Dunia kedua contoh-contoh dari masyarakat majemuk antara lain, Indonesia, Malaysia, Afrika Selatan, dan Suriname. Ciri-ciri yang menyolok dan kritikal dari masyarakat majemuk adalah hubungan antara sistem nasional atau pemerintah nasional dengan masyrakat suku bangsa, dan hubungan di antara masyarakat suku bangsa yang dipersatukan oleh sistem nasional. Dalam perspektif hubngan kekuatan, sistem nasional atau pemerintahan nasional adalah yang dominan dan masyarakat-masyarakat suku bangsa adalah minoritas. Hubungan antara pemerintah nasional dengan masyarakat suku bangsa dalam masyarakat jajahan selalu diperantarai oleh golongan perantara, yang posisi ini di hindia Belanda dipegang oleh golongan Cina, Arab, dan Timur Asing lainnya untuk kepentingan pasar. Sedangkan para sultan dan raja atau para bangsawan yang disukung oleh para birokrat (priyayi) digunakan untuk kepentingan pemerintahan dan penguasaan. Atau dipercayakan kepada para bangsawan dan priyayi untuk kelompok-kelompok suku bangsa yang digolongkan sebagai terbelakang atau primitif.

Dalam masyarakat majemuk dengan demikian ada perbedaan-perbedaan sosial, budaya, dan politik yang dikukuhkan sebagai hukum ataupun sebagai konvensi sosial yang membedakan mereka yang tergolong sebagai dominan yang menjadi lawan dari yang minoritas. Dalam masyarakat Hindia Belanda, pemerintah nasional atau penjajah mempunyai kekutan iliter dan polisi yang dibarengi dengan kekuatan hukum untuk memaksakan kepentingan-kepentingannya, yaitu mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia. Dalam struktur hubungan kekuatan yang berlaku secara nasional, dalalm penjajahan hindia Belanda terdapat golongan yang paling dominan yang berada pada lapisan teratas, yaitu orang Belanda dan orang kulit putih, disusul oleh orang Cina, Arab, dan Timur asing lainnya, dan kemuian yang terbawah adalah mereka yang tergolong pribumi. Mereka yang tergolong pribumi digolongkan lagi menjadi yang tergolong telah menganl peradaban dan meraka yang belum mengenal peradaban atau yang masih primitif. Dalam struktur yang berlaku nasional ini terdapat struktur-struktur hubungan kekuatan dominan-minoritas yang bervariasi sesuai konteks-konteks hubungan dan kepentingan yang berlaku.
Dalam masa pendudukan Jepang di Indonesia, pemerintah penajajahan Jepang yang merupakan pemerintahan militer telah memposisikan diri sebagai kekuatan memaksa yang maha besar dalam segala bidang kehidupan masyarakat suku bangsa yang dijajahnya. Dengan kerakusannya yang luar biasa, seluruh wilayah jajahan Jepang di Indonesia dieksploitasi secara habis habisan baik yang berupa sumber daya alam fisik maupun sumber daya manusianya (ingat Romusha), yang merupakan kelompok minoritas dalam perspektif penjajahan Jepang. Warga masyarakat Hindia Belanda yang kemudian menjadi warga penjajahan Jepang menyadari pentingnya memerdekakan diri dari penjajahan Jepang yang amat menyengsarakan mereka, emmerdekakan diri pada tanggal 17 agustus tahun 1945, dipimpin oleh Soekarno-Hatta.
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, yang disemangati oleh Sumpah Pemuda tahun 1928, sebetulnya merupakan terbentuknya sebuah bangsa dalam sebuah negara yaitu Indonesia tanpa ada unsur paksaan. Pada tahun-tahun penguasaan dan pemantapan kekuasaan pemerintah nasional barulah muncul sejumlah pemberontakan kesukubangsaan-keyakinan keagamaan terhadap pemerintah nasional atau pemerintah pusat, seperti yang dilakukakn oleh DI/TII di jawa Barat, DI/TII di Sulawesi Selatan, RMS, PRRI di Sumatera Barat dan Sumatera Selatan, Permesta di Sulawesi Utara, dan berbagai pemberontakan dan upaya memisahkan diri dari Republik Indonesia akhir-akhir ini sebagaimana yang terjadi di Aceh, di Riau, dan di Papua, yang harus diredam secara militer. Begitu juga dengan kerusuhan berdarah antar suku bangsa yang terjadi di kabupaten Sambas, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, dan Maluku yang harus diredam secara paksa. Kesemuanya ini menunjukkan adanya pemantapan pemersatuan negara Indonesia secara paksa, yang disebabkan oleh adanya pertentangan antara sistem nasional dengan masyarakat suku bangsa dan konflik di antara masyarakat-masyarakat suku bangsa dan keyakinan keagamaan yang berbeda di Indonesia.
Dalam era diberlakukannya otonomi daerah, siapa yang sepenuhnya berhak atas sumber daya alam, fisik, dan sosial budaya, juga diberlakukan oleh pemerintahan lokal, yang dikuasai dan didominasi administrasi dan politiknya oleh putra daerah atau mereka yang secara suku bangsa adalah suku bangsa yang asli setempat. Ini berlaku pada tingkat provinsi maupun pada tingkat kabupaten dan wilayah administrasinya. Ketentuan otonomi daerah ini menghasilkan golongan dominan dan golongan minoritas yang bertingkat-tingkat sesuai dengan kesukubangsaan yang bersangkutan. Lalu apakah itu dinamakan minoritas dan dominan?
Hubungan Dominan-Minoritas
Kelompok minoritas adalah orang-orang yang karena ciri-ciri fisik tubuh atau asal-usul keturunannya atau kebudayaannya dipisahkan dari orang-orang lainnya dan diperlakukan secara tidak sederajad atau tidak adil dalam masyarakat dimana mereka itu hidup. Karena itu mereka merasakan adanya tindakan diskriminasi secara kolektif. Mereka diperlakukan sebagai orang luar dari masyarakat dimana mereka hidup. Mereka juga menduduki posisi yang tidak menguntungkan dalam kehidupan sosial masyarakatnya, karena mereka dibatasi dalam sejumlah kesempatan-kesempatan sosial, ekonomi, dan politik. Mereka yang tergolong minoritas mempunyai gengsi yang rendah dan seringkali menjadi sasaran olok-olok, kebencian, kemarahan, dan kekerasan. Posisi mereka yang rendah termanifestasi dalam bentuk akses yang terbatas terhadap kesempatan-kesempatan pendidikan, dan keterbatasan dalam kemajuan pekerjaan dan profesi.
Keberadaan kelompok minoritas selalu dalam kaitan dan pertentangannya dengan kelompok dominan, yaitu mereka yang menikmati status sosial tinggi dan sejumlah keistimewaan yang banyak. Mereka ini mengembangkan seperangkat prasangka terhadap golongan minoritas yang ada dalam masyarakatnya. Prasangka ini berkembang berdasarkan pada adanya (1) perasaan superioritas pada mereka yang tergolong dominan; (2) sebuah perasaan yang secara intrinsik ada dalam keyakinan mereka bahwa golongan minoritas yang rendah derajadnya itu adalah berbeda dari mereka dantergolong sebagai orang asing; (3) adanya klaim pada golongan dominan bahwa sebagai akses sumber daya yang ada adalah merupakan hak mereka, dan disertai adanya ketakutan bahwa mereka yang tergolong minoritas dan rendah derajadnya itu akan mengambil sumberdaya-sumberdaya tersebut.
Dalam pembahasan tersebut di atas, keberadaan dan kehidupan minoritas yang dilihat dalam pertentangannya dengan dominan, adalah sebuah pendekatan untuk melihat minoritas dengan segala keterbatasannya dan dengan diskriminasi dan perlakukan yang tidak adil dari mereka yang tergolong dominan. Dalam perspektif ini, dominan-minoritas dilihat sebagai hubungan kekuatan. Kekuatan yang terwujud dalam struktur-struktur hubungan kekuatan, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat-tingkat lokal. Bila kita melihat minoritas dalam kaitan atau pertentangannya dengan mayoritas maka yang akan dihasilkan adalah hubungan mereka yang populasinya besar (mayoritas) dan yang populasinya kecil (minoritas). Perspektif ini tidak akan dapat memahami mengapa golongan minoritas didiskriminasi. Karena besar populasinya belum tentu besar kekuatannya.
Konsep diskriminasi sebenarnya hanya digunakan untuk mengacu pada tindakan-tindakan perlakuakn yang berbeda dan merugikan terhadap mereka yang berbeda secara askriptif oleh golongan yang dominan. Yang termasuk golongan sosial askriptif adalah suku bangsa (termasuk golongan ras, kebudayaan sukubangsa, dan keyakinan beragama), gender atau golongan jenis kelamin, dan umur. Berbagai tindakan diskriminasi terhadap mereka yang tergolong minoritas, atau pemaksaan untuk merubah cara hidup dan kebudayaan mereka yang tergolong minoritas (atau asimilasi) adalah pola-pola kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat majemuk. Berbagai kritik atau penentangan terhadap dua pola yang umum dilakukan oleh golongan dominan terhadap minoritas biasanya tidak mempan, karena golongan dominan mempunyai kekuatan berlebih dan dapat memaksakan kehendak mereka baik secara kasar dengan kekuatan militer dan atau polisi atau dengan menggunakan ketentuan hukum dan berbagai cara lalin yang secara sosial dan budaya masuk akal bagi kepentingan mereka yang dominan. Menurut pendapat saya, cara yang terbaik adalah dengan merubah masyarakat majemuk (plural society) menjadi masyarakat multikultural (multicultural society), dengan cara mengadopsi ideologi multikulturalisme sebagai pedoman hidup dan sebagai keyakinan bangsa Indonesia untuk diaplikasikan dalam kehidupan bangsa Indonesia.

Multikulturalisme dan Kesederajatan
Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang menekankan pengakuan dan penghargaan pada kesederajatan perbedaan kebudayaan. Tercakup dalam pengertian kebudayaan adalah para pendukung kebudayaan, baik secara individual maupun secara kelompok, dan terutma ditujukan terhadap golongan sosial askriptif yaitu sukubangsa (dan ras), gender, dan umur. Ideologi multikulturalisme ini secara bergandengan tangan saling mendukung dengan proses-proses demokratisasi, yang pada dasarnya adalah kesederajatan pelaku secara individual (HAM) dalam berhadapan dengan kekuasaan dan komuniti atau masyarakat setempat.
Sehingga upaya penyebarluasan dan pemantapan serta penerapan ideologi multikulturalisme dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, mau tidak mau harus bergandengan tangan dengan upaya penyebaran dan pemantapan ideologi demokrasi dan kebangsaan atau kewarganegaraan dalam porsi yang seimbang. Sehingga setiap orang Indoensia nantinya, akan mempunyai kesadaran tanggung jawab sebagai orang warga negara Indonesia, sebagai warga sukubangsa dankebudayaannya, tergolong sebagai gender tertentu, dan tergolong sebagai umur tertentu yang tidak akan berlaku sewenang-wenang terhadap orang atau kelompok yang tergolong lain dari dirinya sendiri dan akan mampu untuk secara logika menolak diskriminasi dan perlakuakn sewenang-wenang oleh kelompok atau masyarakat yang dominan. Program penyebarluasan dan pemantapan ideologi multikulturalisme ini pernah saya usulkan untuk dilakukan melalui pendidikakn dari SD s.d. Sekolah Menengah Atas, dan juga S1 Universitas. Melalui kesempatan ini saya juga ingin mengusulkan bahwa ideologi multikulturalisme seharusnya juga disebarluaskan dan dimantapkan melalui program-program yang diselenggarakan oleh LSM yang yang sejenis.
Mengapa perjuangan anti-diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas dilakukan melalui perjuangan menuju masyarakat multikultural? Karena perjuangan anti-diskriminasi dan perjuangan hak-hak hidup dalam kesederajatan dari minoritas adalah perjuangan politik, dan perjuangan politik adalah perjuangan kekuatan. Perjuangan kekuatan yang akan memberikan kekuatan kepada kelompok-kelompok minoritas sehingga hak-hak hidup untuk berbeda dapat dipertahankan dan tidak tidak didiskriminasi karena digolongkan sebagai sederajad dari mereka yang semula menganggap mereka sebagai dominan. Perjuangan politik seperti ini menuntut adanya landasan logika yang masuk akal di samping kekuatan nyata yang harus digunakan dalam penerapannya. Logika yang masuk akal tersebut ada dalam multikulturalisme dan dalam demokrasi.
Upaya yang telah dan sedang dilakukan terhadap lima kelompok minoritas di Indonesia oleh LSM, untuk meningkatkan derajad mereka, mungkin dapat dilakukan melalui program-program pendidikan yang mencakup ideologi multikulturalisme dan demokrasi serta kebangsaan, dan berbagai upaya untuk menstimuli peningkatan kerja produktif dan profesi. Sehingga mereka itu tidak lagi berada dalam keterbelakangan dan ketergantungan pada kelompok-kelompok dominan dalam masyarakat setempat dimana kelompok minoritas itu hidup.
Menurut FURNIVAL :Masyarakat multikultural merupakan masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih komunitas (kelompok) yang secara kultural dan ekonomiterpisah-pisah serta memiliki struktur kelembagaan yang berbeda satu sama lain.Berdasarkan konfigurasi dan komunitas etnik dibedakan :- Masyarakat majemuk dengan kompetisi seimbang - Masyarakat majenuk dengan mayoritas dominan - Masyarakat mejemuk dengan minoritas majemuk - Masyarakat majemuk dengan fragmentasi Menurut Dr. NasikunMasyarakat majemuk merupakan suatu masyarakat yang menganut yang menganut berbagai sistem nilaiyang dianut oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya Karakteristik Masyarakat menurut Pierre L. Va den Berghe• Terjadi segmentasi ke dalam kelompok sub budaya yang saling berbeda • Memiliki struktur yang terbagi ke dalam lembaga non komplementer • Kurang mengembangkan konsensus di antara anggota terhadap nilai yang bersifat dasar • Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan dan saling tergantung secara ekonomi • Adanya dominasi politik suatu kelompok atas kelompok lainMASYARAKAT INDONESIA YANG MULTIKULTURALSECARA HORISONTAL (DIFERENSIASI)• Perbedaan Fisik atau ras • Perbedaan suku bangsa • Perbedaan agama• Perbedaan jenis kelamin SECARA VERTIKAL(STRATIFIKASI)• Perbedaan individu/ kelompok secara hirakhis dalam kelas-kelas yang berbda tingkatan dalam suatu sistem sosial FAKTOR PENYEBAB MASYARAKAT MULTIKULTURAL Latar belakang historisn Kondisi geografisn Keterbukaan terhadap kebudayaan luarn MASALAH YANG TIMBULAKIBAT ADANYA MASYARAKAT MULTIKULTURALKONFLIKBERDASARKAN TINGKATANNYA Tingkat ideologi atau gagasanl Tingkat politikl BERDASARKAN JENISNYA Rasiall Antar suku bangsal Antar agamalINTEGRASI Berasal dari kata “integration” yang berarti kesempurnaan, atau keseluruhanl l Maurice Duverger mendefinisikan sebagai dibangunnya interdependensi (kesalingtergantungan) yang lebih rapat antara anggota-anggota dalam masyarakat.DISINTEGRASI Disebut juga disorganisasi yaitu suatu keadaan di mana tidak ada keserasian pada bagian-bagian dari suatu kesatuan. Misal : Kasus GAM, RMS, Papua dll Gejala awal disintegrasi Tidak ada persamaan persepsi Norma tidak berfungsi dengan baik Terjadi pertentangan antar norma Pemberian sanksi tidak konsekuen Tindakan masyarakat tidak sesuai dengan norma Terjadinya proses disosiatif : persaingan, pertentangan,kontravensi REINTEGRASI Atau “reorganisasi” yaitu suatu proses pembentukan norma-norma dan nilai-nilai baru agar serasi dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang telah mengalami perubahan ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH YANG DITIMBULKANOLEH MASYARAKAT MULTIKULTURAL ASIMILASIu u SELF REGREGATION u INTEGRASI u PLURALISME
ASIMILASIProses di mana seseorang meninggalkan tradisi budaya mereka sendiri untuk menjadi dari bagian dari budaya yang berbeda. Dengan demikian kelompok etnis yang berbeda secara bertahap dapat mengadopsi budaya dan nilai-nilai yang ada dalam kelompok besar, sehingga setelah beberapa generasi akan menjadi bagian dari masyarakat tersebut INTEGRASIMerupakan keadaan ketika kelompok-kelompok etnik beradaptasi dan bersikap konformistis, terhadap kebudayaan mayoritas masyarakat, tetapi dengan tetap mempertahankan kebudayaan mereka sendiri SELF REGREGATIONSuatu kelompok etnis mengasingkan diri dari dari kebudayaan mayoritas, sehingga interaksi antar kelompok sedikit sekali, atau tidak terjadi. Sehingga potensi konflik menjadi kecil PLURALiSMESuatu masyarakat di mana kelompok-kelompok sub ordinat tidak harus mengorbankan gaya hidup dan tradisi mereka, bahkan kebudayaan kelompok-kelompok tersebut memiliki pengaruh terhadap kebudayaan masyarakat secara keseluruhan SIKAP KRITIS, TOLERANSI, DAN EMPATI SOSIALTERHADAP HUBUNGAN KEANEKARAGAMAN DAN PERUBAHAN BUDAYADalam menghadapi hubungan keanekaragaman dan perubahan kebudayaan di masyarakat, dibutuhkan sikap yang kritis, disertai toleransi dan empati sosial terhadap perbedaan-perbedaan tersebut.

Kelompok Sosial


A. Pengertian dan Macam-macam Kelompok

1. Pengertian kelompok
Kelompok merupakan konsep yang sangat umum dipakai dalam sosiologi dan antropologi. Sebenarnya kelompok merupakan kumpulan manusia yang memiliki syarat-syarat tertentu, dengan kata lain tidak semua pengumpulan manusia dapat disebut sebagai kelompok.
Robert Biersted menyebut adanya tiga kriteria kelompok, yaitu:
(1) ada atau tidaknya organisasi,
(2) ada atau tidaknya hubungan sosial di antara warga kelompok, dan
(3) ada atau tidaknya kesadaran jenis di antara orang-orang yang ada dalam kelompok dimaksud.
Berdasarkan analisis menggunakan tiga kriteria tersebut dalam masyarakat dikenal beberapa jenis atau macam kelompok, yaitu:
(1) asosiasi,
(2) kelompok sosial,
(3) kelompok kemasyarakatan, dan
(4) kelompok statistik.
Keterangan:
a. Asosiasi
Asosiasi merupakan kelompok yang memenuhi tiga kriteria Biersted tersebut. Suatu asosiasi atau organisasi formal terdiri atas orang-orang yang memiliki kesadaran akan kesamaan jenis, ada hubungan sosial di antara warga kelompok dan organisasi.
b. Kelompok sosial (Social Groups)
Kelompok yang para anggotanya memiliki kesadaran akan kesamaan jenis serta hubungan sosial di antara warganya, tetapi tidak mengenal organisasi, oleh Biersted disebut sebagai kelompok sosial.
c. kelompok kemasyarakatan (Societal Groups)
Kelompok kemasyarakatan merupakan kelompok yang berisi orang-orang yang memiliki kesadaran jenis saja, tidak ada hubungan sosial di antara orang-orang tersebut maupun organisasi, disebut sebagai kelompok kemasyarakatan (societal groups).
Misalnya kelompok laki-laki, kelompok perempuan. Orang sadar sebagai “sesama laki-laki” atau “sesama perempuan”, namun tidak ada organisasi ataupun komunikasi di antara mereka.
d. Kelompok statistik
Bentuk terakhir dari kelompok adalah kategori atau kelompok statistik, yaitu kelompok yang terdiri atas orang-orang yang memiliki kesamaan jenis (misalnya jenis kelamin, umur, pekerjaan, dan sebagainya), tetapi tidak memiliki satu pun dari tiga kriteria kelompok menurut Biersted.
Sebenarnya kelompok statistik bukanlah “kelompok”, sebab tidak memiliki tiga ciri tersebut. Kelompok statistik hanyalah orang-orang yang memiliki kategori statistik sama, misalnya kelompok umur (0-5 tahun, 6-10 tahun, dst.) yang dipakai dalam data penduduk Biro Pusat Statistik. Dalam kelompok ini sama sekali tidak ada organisasi, tidak ada hubungan antar-anggota, dan tidak ada kesadararan jenis.
Perbandingan antara kelompok dan perkumpulan sosial (asosiasi)
Perbedaan antara kelompok dengan asosiasi (perkumpulan) secara ringkas dapat dilihat pada tabel berikut.
Kelompok Sosial
Perkumpulan (asosiasi)

Kelompok primer
Perkumpulan sekunder
Gemainschaft
Gesellschaft
Hubungan familistik
Hubungan kontraktual
Dasar organisasi adat
Dasar organisasi buatan
Pimpinan berdasarkan kewibawaan/charisma
Pimpinan berdasarkan wewenang dan hukum
Hubungan berasas perorangan
Hubungan berasas guna/kepentingan dan anonim
Dengan rumusan lain, Robert M.Z. Lawang mengemukakan bahwa organisasi formal (asosiasi) merupakan kelompok dengan ciri-ciri sebagai berikut.
a. bersifat persistent (tetap/terus menerus),
b. memiliki identitas kolektif yang tegas,
c. memiliki daftar anggota yang rinci,
d. memiliki program kegiatan yang terus menerus, dan
e. memiliki prosedur keanggotaan.



2. Berbagai macam kelompok/asosiasi dalam masyarakat
a. In group-Out group
Ingroup (kelompok dalam) merupakan kelompok sosial di mana di antara anggota-anggotanya saling simpati dan mempunyai perasaan dekat satu dengan lainnya. Misalnya: kliq. Outgroup (kelompok luar) ialah kelompok yang berada di luar suatu kelompok yang ditandai oleh adanya antagonisme, prasangka atau antipati. Misalnya orang-orang kulit hitam di lingkungan orang-orang kulit putih. Klasifikasi kelompok demikian dikemukakan oleh W.G. Sumner (1940).
b. Kelompok Primer dan sekunder
Klasifikasi ini dikemukakan oleh C.H. Colley (1909). Kelompok primer dan sekunder dibedakan berdasarkan ada tidaknya ciri saling mengenal atau kerjasama yang erat dan bersifat personal di antara anggota-anggotanya. Kelompok dengan ciri demikian disebut kelompok primer, dan yang tidak disebut kelompok sekunder.
c. Gemainschaft dan Gesselschaft
Klasifikasi ini dikemukakan oleh Ferdinand Tonnies (1967). Gemainschaft (paguyuban) adalah suatu bentuk kehidupan bersama yang anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni, bersifat alamiah dan kekal. Hubungan antar-anggota kelompok paguyuban memiliki ciri :
(1) intim,
(2) privat, dan
(3) eksklusif. Misalnya keluarga.
Menurut Tonnies, ada tiga tipe gemainschaft, yaitu:
(1) gemainschaft by blood, contohnya keluarga atau kelompok kekerabatan (klen),
(2) gemainschaft of place, misalnya orang-orang se-RT/RW,
(3) gemainschaft of mind, yaitu paguyuban yang terdiri atas orang-orang yang memiliki jiwa atau ideology yang sama, sehingga meskipun bertempat kediaman yang saling berjauhan dan tidak memiliki kesamaan keturunan/keluarga tetapi tetap memiliki hubungan yang erat, intim, kekal dan dalam. Misalnya: kelompok keagamaan (umat), sekte, kelompok kebatinan, dan sebagainya.
Sedangkan Gesselschaft (patembayan) adalah suatu bentuk kehidupan bersama yang didasarkan pada ikatan lahir dan bersifat kontraktual. Contohnya: Sebuah Perusaahaan atau organisasi buruh.
d. Kelompok Formal dan Informal
Klasifikasi ini dikemukakan oleh van Doorn dan Lammers (1964). Kelompok formal merupakan kelompok yang mempunyai peraturan-peraturan yang tegas dan sengaja diciptakan. Di dalam kelompok formal terdapat pembatasan yang tegas mengenai hak-hak, kewajiban, wewenang, dan tanggung jawab anggota-anggota kelompok sesuai dengan statusnya masing-masing, baik fungsional maupun struktural.
Kelompok informal merupakan kelompok yang dibangun berdasarkan hubungan-hubungan yang bersifat personal dan tidak ditentukan oleh aturan-atuan yang resmi.
e. Kelompok organik dan mekanik
Klasifikasi ini dikemukakan oleh Emmile Durkheim didasarkan pada ada tidaknya pembagian kerja dalam kelompok. Di dalam kelompok organik terdapat pembagian kerja yang rinci dan tegas di antara anggota-anggotanya, sedangkan pada kelompok mekanik tidak terdapat pembagian kerja. Ada tidaknya pembagian kerja ini menimbulkan pula sifat solidaritas antar-anggota yang berbeda. Pada kelompok organik terdapat solidaritas organik, dan dalam kelompok mekanik terdapat solidaritas mekanik.
f. Membership dan reference group
Klasifikasi ini dikemukakan oleh Robert K. Merton. Membership Group merupakan kelompok dengan anggota-anggota yang tercatat secara fisik sebagai anggota. Sedangkan reference group merupakan kelompok acuan, maksudnya orang menjadikan kelompok yang bersangkutan sebagai acuan bertindak dan berperilaku, walaupun secara fisik ia tidak tercatat sebagai anggota.
g. Kelompok-kelompok semu dan tidak teratur
1) kerumunan
Kerumunan ialah sekumpulan orang yang tidak terorganisir dan bersifat sementara. Suatu kerumumnan dapat memiliki pemimpin, tetapi tidak memiliki struktur dan pembagian kerja. Identitas seseorang akan tenggelam apabila berada dalam sebuah kerumunan.

Tipe-tipe kerumunan
a) Khalayak penonton (pendengar formal/formal audience)
Kerumunan demikian mempunyai perhatian dan tujuan yang sama, misalnya penonton bioskop, pengunjung khotbah agama, dsb.
b) Kelompok ekspresif yang direncanakan (planned expressive group)
Kerumunan yang terdiri atas orang-orang yang mempunyai tujuan sama tetapi pusat perhatiannya berbeda-beda, misalnya kerumunan orang-orang yang berpesta
c) Kumpulan orang yang kurang menyenangkan (inconvinent aggregations)
Dalam kerumunan semacam ini kehadiran orang lain merupakan halangan bagi seseorang dalam mencapai tujuan. Misalnya: antre tiket, kerumunan penumpang bus, dst.
d) Kumpulan orang-orang yang panik (panic crowd)
Ialah kerumunan yang terdiri atas orang-orang yang menghindari bencana/ancaman. Misalnya pengungsi
e) Kerumunan penonton (spectator crowd)
Yaitu kerumunan orang-orang yang ingin melihat sesuatu atau peristiwa tertentu. Kerumunan semacam ini hampir sama dengan formal audience, tetapi tidak terencana
f) Lawless crowd
Yaitu kerumunan orang-orang yang berlawanan dengan hukum, misalnya: acting mobs, yakni kerumunan orang-orang yang bermaksud mencapai tujuan tertentu dengan menggunakan kekuatan fisik. Contoh lain:immoral crowd, seperti formal audience, tetapi bersifat menyimpang.
2) publik (massa)
Seringkali disebut dengan khalayak umum atau khalayak ramai. Publik semacam dengan kelompok hanya tidak menjadi kesatuan, hubungan sosial terjadi secara tidak langsung, melainkan melalui alat-alat komunikasi massa, seperti: media massa cetak, elektronik, termasuk pembicaraan berantai, desas-desus, dan sebagainya.

B. Masyarakat Multikultural
Sebagaimana telah banyak diketahui, bahwa masyarakat merupakan kategori yang paling umum untuk menyebut suatu kumpulan manusia yang saling berinteraksi secara kontinyu dalam suatu wilayah atau tempat dengan batas-batas geografik, sosial, atau kultural yang tertentu. Terdapat istilah-istilah yang lebih khusus yang digunakan untuk menyebut pengumpulan manusia dengan karakteristik tertentu. Misalnya yang menekankan bahwa interaksi yang kontinyu itu berlangsung dalam batas-batas wilayah geografik tertentu, sehingga orang-orang dalam batas wilayah itu saling berinteraksi secara lebih intensif daripada dengan orang-orang yang berada di luar batas itu. Pengelompokan yang demikian ini disebut komunitas, atau masyarakat setempat. Misalnya masyarakat desa atau masyarakat kota. Juga dapat dalam lingkup ruang geografik yang lebih kecil, misalnya Rukun Tetangga, Rukun Kampung, dusun, dan sebagainya.
Untuk wilayah sosial, dapat berupa kelas atau kelompok sosial tertentu. Misalnya untuk yang berjenjang dapat berupa kelas atas, kelas menengah, atau kelas bawah, sedangkan yang tidak berjenjang dapat juga kelompok kiri, kanan, atau tengah, berbagai kelompok profesi, atau sebagaimana diungkapkan Geertz, ada kelompok santri, priyayi, atau abangan. Untuk kategori wilayah kebudayaan, dapat berupaka sukubangsa atau kelompok-kelompok agama.
Demikianlah, sehingga –sekali lagi– masyarakat merupakan penyebutan yang paling umum dan general untuk sebuah pengumpulan manusia pada suatu wilayah.
Apa yang dimaksud dengan masyarakat multikultural? Masyarakat jenis ini kadang disebut sebagai masyarakat majemuk atau plural society.
Istilah plural society, pertama kali digunakan oleh JS Furnival untuk menyebut masyarakat masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih tertib sosial, komunitas atau kelompok-kelompok yang secara kultural, ekonomi dan politik terpisah-pisah serta memiliki struktur kelembagaan yang berbeda-beda antara satu dengan lainnya, atau dengan kata lain merupakan suatu masyarakat di mana sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagiannya adalah sedemikian rupa sehingga para anggotanya kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan.
Istilah plural atau majemuk sebenarnya berbeda dengan pengertian heterogen. Majemuk atau plural itu merupakan lawan dari kata singular atau tunggal. Sehingga, masyarakat plural itu bukan masyarakat yang tunggal. Masyarakat tunggal merupakan masyarakat yang mendukung satu sistem kebudayaan yang sama, sedangkan pada masyarakat plural, di dalamnya terdapat lebih dari satu kelompok baik etnik maupun sosial yang menganut sistem kebudayaan (subkultur) berbeda satu dengan yang lain. Sebuah masyarakat kota, mungkin tepat disebut sebagai masyarakat heterogen, sepanjang meskipun mereka berasal dari latar belakang SARA (sukubangsa, agama, ras, atau pun aliran/golongan-golongan) yang berbeda, tetapi mereka tidak mengelompok berdasarkan SARA tersebut. Heterogen lawan dari kondisi yang disebut homogen. Disebut homogen kalau anggota masyarakat berasal dari SARA yang secara relatif sama. Disebut heterogen kalau berasal dari SARA yang saling berbeda, namun –sekali lagi– mereka tidak mengelompok (tersegmentasi) berdasarkan SARA tersebut.
Selanjutnya, suatu masyarakat disebut multikultural, majemuk, atau plural apabila para anggota-anggotanya berasal dari SARA yang saling berbeda, dan SARA tersebut menjadi dasar pengelompokan para anggota masyarakat, sehingga dalam masyarakat terdiri atas dua atau lebih kelompok etnis maupun sosial yang didasarkan pada SARA yang pada umumnya bersifat primordial, dan masing-masing mengembangkan subkultur tertentu. Interaksi antar-kelompok lebih rendah daripada interaksi internal kelompok. Bahkan, di dalam banyak masyarakat majemuk, struktur sosial yang ada sering bersifat konsolidatif, sehingga proses menuju integrasi sosialnya terhambat.
Agar lebih jelas, berikut dikemukakan ciri masyarakat multikultural menurut van Den Berghe.
Mengalami segmentasi ke dalam kelompok-kelompok dengan subkultur saling berbeda
Memiliki struktur yang terbagi ke dalam lembaga-lembaga yang nonkomplemen
Kurang dapat mengembangkan konsensus mengenai nilai dasar
Relatif sering mengalami konflik
Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan, dan/atau
Ketergantungan ekonomi, dan/atau
Dominasi politik oleh suatu kelompok terhadap kelompok yang lain
Konfigurasi masyarakat multikultural.
Furnival mengemukakan bahwa apabila dilihat dari konfigurasi etnis atau kelompok yang menjadi unsurnya, paling tidak terdapat empat macam masyarakat majemuk, yaitu:
(1) masyarakat majemuk dengan kompetisi seimbang,
(2) masyarakat majemuk dengan maioritas dominan,
(3) masyarakat majemuk dengan minirotas dominan, dan
(4) masyarakat majemuk dengan konfigurasi fragmental.



1. Masyarakat majemuk dengan konfigurasi kompetisi seimbang
Di antara kelompok-kelompok yang ada, masing-masing mempunyai kekuatan kompetisi yang seimbang, tidak ada satupun kelompok yang dapat menguasai yang lain. Integrasi sosial sebagai sebuah masyarakat besar tidak mudah terjadi, kecuali kalau ada di antara kelompok-kelompok tersebut yang berhasil membangun koalisi lintas kelompok, misalnya lintas etnik yang membentuknya.
2. Masyarakat majemuk dengan konfigurasi maioritas dominan
Di antara kelompok-kelompok yang ada terdapat satu kelompok besar dan berkuasa.
3. Masyarakat majemuk dengan konfigurasi minoritas dominan
Di antara kelompok-kelompok yang ada terdapat satu kelompok yang kecil tetapi berkuasa
4. Masyarakat majemuk dengan konfigurasi fragmental
Terdiri atas kelompok-kelompok kecil yang satu dengan yang lain saling terpisah dan sangat terbatas interaksi dan komunikasinya. Sama dengan konfigurasi kompetisi seimbang, masyarakat majemuk jenis ini pun integrasi sosial hanya dapat dicapai apabila terjadi koalisi lintas etnis.

Menurut Anda, sebagai sebuah masyarakat majemuk, masyarakat Indonesia memiliki konfigurasi yang mana?
Faktor-faktor peyebab kemajemukan
Meskipun menurut sejarah, masyarakat Indonesia relatif berasal dari nenek moyang yang sama, tetapi karena keadaan geografiknya, akhirnya masyarakat Indonesia bersifat majemuk. Kondisi geografik yang menjadi penyebab kemajemukan masyarakat, adalah
Bentuk wilayah yang berupa kepulauan. Kondisi ini mengakibatkan, meskipun berasal dari nenek moyang yang sama, tetapi akhirnya mereka terpisah-pisah di pulau-pulau yang saling berbeda, sehingga masing-masing terisolasi dan mengembangkan kebudayaan sendiri. Jadilah masyarakat Indonesia mengalami kemajemukan ethnik atau sukubangsa.
Letak wilayah yang strategis, di antara dua benua dan dua samudera, kondisi ini mengakibatkan Indonesia banyak didatangi oleh orang-orang asing yang membawa pengaruh unsur kebudayaan, antara lain –yang paling menonjol– adalah agama. Kondisi ini mengakibatkan masyarakat Indonesia majemuk dalam hal agama. Lima agama besar dunia ada di Indonesia. Lima agama besar yang dimaksud adalah
(1) Hindu (pengaaruh India),
(2) Budha (pengaruh bangsa-bangsa Asia),
(3) Katholik (pengaruh kedatangan bangsa portugis),
(4) Kristen (pengaruh kedatangan bangsa Belanda), dan
(5) Islam (pengaruh masuknya pedagang-pedagang dari Timur Tengah).
Variasi iklim, jenis serta kesuburan tanah yang berbeda di antara beberapa tempat, misalnya daerah Indonesia bagian Timur yang lebih kering, tumbuh menjadi sukubangsa peternak, daerah Jawa dan Sumatra yang dipengaruhi vulkanisme tumbuh menjadi daerah dengan masyarajat yang hidup dari bercocok tanam. Variasi iklim dan jenis serta kesuburan tanah ini mengakibatkan masyarakat Indonesia majemuk dalam hal kultur, antara lain cara hidup.


Bentuk Struktur Sosial Masyarakat Majemuk
1. Struktur sosial yang terinterseksi (intersected social structure)
Kelompok-kelompok sosial yang ada dalam masyarakat dapat menjadi wadah beraktivitas dari orang-orang yang berasal dari berbagai latar belakang sukubangsa, agama, ras, dan aliran.
Dalam bentuk struktur sosial yang demikian keanggotaan para anggota masyarakat dalam kelompok sosial yang ada saling silang-menyilang sehingga terjadi loyalitas yang juga silang-menyilang (cross-cutting affiliation dan cross-cutting loyalities).
Bentuk struktur yang terinterseksi mendorong terjadinya integrasi sosial dalam masyarakat multicultural.
2. Struktur sosial yang terkonsolidasi (consolidated social structure)
Dalam bentuk struktur yang demikian, kelompok-kelompok sosial yang ada hanya mewadahi orang-orang yang berlatar belakang sukubangsa, agama, ras, atau aliran yang sama.
Sehingga terjadi tumpang tindih parameter dalam pemilahan struktur sosial. Orang Bali akan identik dengan orang Hindu, orang Melayu identik dengan orang Islam. Partai tertentu identik dengan orang Islam, partai yang lain identik dengan orang Kristen, dan seterusnya.
Bentuk struktur sosial yang semacam ini akan menghambat terjadinya integrasi sosial dalam masyarakat multicultural, karena akan terjadi pertajaman prasangka antar-kelompok.
Struktur sosial terpilah dengan parameter yang tumpang tindih, pemilahan berdasarkan sukubangsa tumpang tindih dengan pemilahan berdasrkan agama, ras, aliran, atau kelas-kelas sosial dan ekonomi. Ikatan dalam kelompok dalam akan sangat kuat, tetapi akan menimbulkan prasangka terhadap kelompok luarnya.

Perilaku dalam masyarakat multikultural
Dalam kehidupan masyarakat multikultural, sering tidak dapat dihindari berkembangnya faham-faham atau cara hidup yang didasarkan pada ethnosentrisme, primordialisme, aliran, sektarianisme, dan sebagainya.
Ethnosentrisme merupakan faham atau sikap menilai kebudayaan sukubangsa/kelompok lain menggunakan ukuran yang berlaku di sukubangsa kelompok/masyarakat sendiri
Primordialisme merupakan tindakan memperlakukan secara istimewa (memberi prioritas) orang-orang yang latarbelakag sukubangsa, agama, ras, aliran atau golongan yang sama dalam urusan publik.
Kronisme: memprioritaskan teman. Nepotisme = memprioritaskan anggota keluarga.
Politik aliran merupakan kehidupan perpolitikan yang didasarkan pada faktor-faktor primordial (SARA)
Prasangka dan stereotipe ras/etnis adalah penilaian suatu ras/etnis berdasarkan pendapat orang banyak yang belum pernah dibuktikan tetapi dianggap benar

Proses integrasi dalam masyarakat multikultual
Integrasi sosial tidak hanya sebuah ungkapan normatif, melainkan juga telah lama menjadi persoalan akademik.
Secara sosiologis, terdapat dua pendekatan:
1) konsensus yang lebih menekankan pada dimensi budaya (teori struktural fungsional), dan
2) konflik yang lebih menekankan dimensi struktural (teori struktural konflik).
Menurut pendekatan konsensus integrasi dapat dicapai melalui suatu kesepakatan tentang nilai dasar (common platform); sedangkan menurut pendekatan konflik, integrasi hanya dapat dicapai melalui dominasi satu kelompok atas lainnya.
Integrasi sosial dalam masyarakat majemuk dipengaruhi oleh beberapa hal, misalnya:
(1) struktur sosialnya, apakah interseksi atau konsolidasi,
(2) faham atau ideologi, yang berkembang dalam masyarakat apakah ethnosentrisme, primordialisme, aliran, sektarianisme, dan lain-lain, ataukah faham relativisme kebudayaan,
(3) apakah dapat berlangsung koalisi,
(4) apakah dapat membangun konsensus tentang nilai dasar,
(5) apakah berlangsung proses-proses menuju akulturasi budaya majemuk, dan
(6) adakah kelompok dominan.
Struktur sosial yang bersifat intersected, berkembangnya faham relativisme kebudayaan, koalisi lintas-etnis, konsensus tentang nilai dasar, akulturasi budaya majemuk, dan adanya kelompok dominan merupakan faktor-faktor yang mendorong berlangsungnya integrasi sosial dalam masyarakat majemuk.

Multikulturalisme dalam masyarakat multicultural

Multikulruralisme pada dasarnya merupakan cara pandang yang mengakui dan menerima adanya perbedaan-perbedaan cara berfikir, cara berperasaan, dan cara bertindak dalam masyarakat yang bersumber dari adanya latar belakang sukubangsa, agama, ras, atau aliran yang berbeda.

Multikulturalisme lahir karena adanya kesadaran bahwa di masa lalu hubungan di antara warga masyarakat dalam majemuk lebih conderung didasarkan pada primordialisme, ethnosentrisme dan aliran. Sehingga di dalam masyarakat majemuk terdapat potensi konflik di antara kelompok-kelompok atau golongan-golongan sosial yang ada. Hubungan yang demikian menimbulkan masalah dalam proses integrasi sosial dalam masyarakat majemuk. Lahirlah faham multikulturalisme yang lebih didasarkan pada pandangan tentang relativisme kebudayaan. Bahwa pada dasarnya setiap kelompok atau golongan sosial, baik itu sukubangsa, agama, ras, ataupun aliran memiliki ukuran-ukuran dan nilai-nilainya sendiri tentang suatu hal, meskipun tidak tertutup kemungkinan ditemukakannya common platform atau kesamaan di antara kelompok atau golongan-golongan yang saling berbeda itu.